News / 12 Aug 2022 /Risandy Meda Nurjanah

Pergeseran Risiko Perekonomian dari Pandemi ke Tekanan Ekonomi Global

Pergeseran Risiko Perekonomian dari Pandemi ke Tekanan Ekonomi Global
SURABAYA - Kondisi pandemi Covid-19 memang belum selesai. Meskipun demikian, dampak pandemi pada risiko perekonomian Indonesia sudah dapat dikelola dengan lebih baik oleh Pemerintah. Namun, hal tersebut tidak lantas membuat perekonomian Indonesia terlepas dari risiko. Meskipun pemulihan ekonomi mulai terjadi di tahun 2021, saat ini kecepatannya menunjukkan perlemahan.

Saat ini, perekonomian Indonesia menghadapi risiko baru. Menteri Keuangan Sri Mulyani, pada Konferensi Pers APBN KITA Agustus 2022 (11/08), menyampaikan bahwa risiko yang tengah dihadapi oleh perekonomian global, termasuk juga perekonomian Indonesia tengah bergeser dari pandemi kepada tekanan ekonomi global.

Dalam paparannya, Sri Mulyani menyampaikan bahwa situasi dan kondisi lingkungan ekonomi global pasca dua tahun pandemi tidak baik-baik saja. Secara umum, terdapat 4 risiko tekanan global yang muncul, yaitu pelonjakan inflasi global, pengetatan likuiditas dan kenaikan suku bunga, potensi krisis utang global, dan potensi stagflasi.


Baca jugaIndonesia Harus Waspada Adanya Inflasi


Pandemi mengakibatkan disrupsi dari sisi supply barang dan jasa. Artinya, distribusi dari produk yang ditawarkan tidak berjalan lancar. Kondisi demand barang dan jasa yang mulai kembali normal tidak dapat dipenuhi karena normalisasi supply barang dan jasa tidak mudah terjadi. Selain itu, munculnya kondisi geopolitik eskalatif, berupa ketegangan yang terjadi di Ukraina dan Taiwan, menimbulkan tambahan risiko pada disrupsi dari sisi supply.

Dengan adanya disrupsi dari sisi supply akibat pandemi dan geopolitik, terjadi lonjakan yang sangat tinggi dalam inflasi global. Bahkan, tingkat inflasi yang terjadi saat ini merupakan inflasi tertinggi bagi Amerika dan Eropa 40 tahun terakhir. Secara historis selama 4 dekade terakhir, kenaikan suku bunga akibat inflasi Amerika Serikat biasanya akan menimbulkan beberapa krisis ekonomi di berbagai belahan dunia.

“Kita harus mewaspadai spillover atau imbasan dari kenaikan suku bunga ini yang berpotensi menimbulkan gejolak di sektor keuangan atau di pasar keuangan”, ujar Menteri Keuangan.


Baca jugaPerpanjangan Insentif Pajak Terkait Covid-19 dan Vaksinasi Dosis Booster ke-2 untuk SDM Kesehatan


Merespon lonjakan inflasi, kebijakan pengetatan likuiditas dan kenaikan suku bunga dilakukan.  Kebijakan ini menimbulkan efek spillover atau rembetan ke berbagai negara berupa lonjakan volatilitas pasar keuangan dan capital outflow di negara berkembang. Pemerintah Indonesia belum melakukan penyesuaian dengan menaikkan suku bunga acuan, namun efek rembetan tersebut menekan nilai tukar rupiah.

Cost of fund atau lonjakan biaya utang juga mengalami peningkatan. International Monetary Fund (IMF) menyampaikan bahwa ada lebih dari 60 negara di dunia yang berpotensi menghadapi krisis utang atau default yang disebabkan karena tajamnya kenaikan biaya utang atau revolving (refinancing) risks.

Kondisi inflasi yang tinggi di berbagai negara akan memperlemah kondisi pertumbuhan ekonomi dunia. Kombinasi pelemahan ekonomi dunia dan inflasi yang masih tinggi adalah sebuah kombinasi yang sangat rumit dan berbahaya bagi para pembuat kebijakan dan bagi perekonomian.


Baca jugaIni Risiko Pajak yang Berpeluang Dikirimi SP2DK







apbn-kita , covid19 , ekonomi-global , inflasi , perekonomian-indonesia

Tulis Komentar



Whatsapp