SURABAYA – Pemerintah baru saja menerbitkan PMK No 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial yang akan berlaku sejak 1 Mei 2022. PMK tersebut berisi ketentuan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyelenggaraan inovasi digital bidang jasa keuangan atau
financial technology (
fintech).
Dalam poin pertimbangan aturan tersebut, Sri Mulyani mengatur pengenaan pajak untuk layanan pinjam meminjam (
fintech peer-to-peer lending atau P2P
lending) dan sejumlah jenis
fintech lainnya, seperti jasa pembayaran (
payment), penghimpunan modal (
crowdfunding), pengelolaan investasi, penyediaan asuransi online, dan layanan pendukung keuangan digital.
Layanan pinjam meminjam menurut PMK tersebut adalah penyelenggaraan layanan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet, termasuk yang menerapkan prinsip syariah.
Pelaku dalam layanan pinjam meminjam terdiri atas pemberi pinjaman, penerima pinjaman, serta penyelenggara layanan pinjam meminjam. Pemberi pinjaman menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga pinjaman. Atas penghasilan bunga yang diterima atau diperoleh pemberi pinjaman dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26.
Besaran Tarif PPh Pasal 23 sebesar 15 persen dari jumlah bruto bunga jika Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dan tarif PPh Pasal 26 sebesar 20 persen dari jumlah bruto bunga jika pemberi pinjaman merupakan Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.
Beleid ini juga mengatur pengenaan PPN atas penyelenggaraan
technology financial (
fintech). Salah satu contoh
fintech yaitu pengisian ulang (
top up) dompet elektronik (Ovo, Dana, Gopay, Paylatter, dll). Pengenaan PPN atas fintech bukan atas jumlah transaksi yang terjadi, melainkan atas imbal jasa penyelenggara fintech.