Baca juga: Isu Kenaikan Uang Pensiun PNS 2025, Apakah Pajaknya Ikut Naik?
Permohonan Dinilai Kabur dan Tidak Konsisten
Hakim Konstitusi Arsul Sani menjelaskan, para pemohon tidak cermat dalam merumuskan permohonan, terutama dalam menyebutkan norma undang-undang yang diuji serta rumusan petitum yang diajukan.“Ketidakkonsistenan serta kekeliruan tersebut membuat permohonan tidak jelas atau kabur mengenai pasal atau ketentuan mana yang sebenarnya dimaksud untuk diuji,” ujar Arsul dalam sidang pembacaan putusan di Jakarta, Kamis (30/10/2025), dikutip dari laman resmi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.Baca juga: Begini Cara Lapor SPT Tahunan Karyawan Lewat Sistem Coretax DJP
Mahkamah juga menilai petitum para pemohon tidak lazim karena tidak memuat alternatif permintaan sebagaimana prinsip hukum acara konstitusi. Tidak adanya alternatif dianggap melanggar asas kejelasan dan kepastian hukum.Akibatnya, MK menyatakan permohonan tersebut obscuur libel atau kabur, sehingga tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut. Dengan demikian, ketentuan pajak atas pesangon, uang pensiun, Tunjangan Hari Tua (THT), dan Jaminan Hari Tua (JHT) tetap berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh, yang menegaskan bahwa setiap tambahan kemampuan ekonomis termasuk imbalan kerja merupakan objek pajak.
Baca juga: PMK 72/2025: Sektor Pariwisata Resmi Dapat Insentif PPh 21 DTP di 2025
Latar Belakang Permohonan Uji Materi
Dalam permohonannya, Rosul dan Maksum meminta MK menyatakan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 UU PPh juncto UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945.Keduanya berpendapat bahwa pesangon dan dana pensiun seharusnya tidak dikenakan pajak karena merupakan hak sosial pekerja untuk menjamin kehidupan setelah berhenti bekerja. Mereka juga menilai penerapan tarif progresif atas dana tersebut tidak adil dan berpotensi mengurangi nilai manfaat pensiun yang diterima. Namun, MK menegaskan bahwa permohonan yang tidak memenuhi syarat kejelasan tidak bisa diproses lebih lanjut.Baca juga: DJP Dorong WP Segera Aktivasi Coretax, Baru 2,6 Juta Akun yang Aktif
Permohonan Baru dari Pekerja Bank
Meski permohonan tersebut kandas, upaya serupa kini muncul kembali. Sebanyak 12 karyawan bank swasta bersama seorang ketua serikat pekerja mengajukan perbaikan permohonan uji materi atas ketentuan pajak progresif terhadap pesangon dan pensiun. Permohonan baru tersebut teregistrasi dengan Nomor 186/PUU-XXIII/2025 dan telah disidangkan di MK pada Kamis (30/10/2025) dengan agenda pembacaan perbaikan permohonan.Pemohon menyampaikan bahwa mereka meminta MK menyatakan Pasal 4 ayat (1) UU PPh tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “tunjangan dan uang pensiun” dimasukkan sebagai objek pajak penghasilan. Dalam berkas perbaikan, para pemohon juga meminta agar Pasal 17 UU PPh jo. UU HPP dinyatakan konstitusional bersyarat, hanya jika tidak mencakup kompensasi pascakerja seperti pesangon dan pensiun.Baca juga: Tips Aman Isi SPT Tahunan di Coretax: Perhatikan Notifikasi Berwarna Merah!
“Pengecualian pajak atas dana pascakerja harus dianggap sebagai jaminan konstitusional, bukan kebijakan fiskal yang bisa diubah sewaktu-waktu,” demikian bunyi dalil para pemohon dalam berkas permohonan sebagaimana dikutip laman resmi IKPI.Para pemohon berpendapat, dana pesangon, JHT, dan pensiun bukanlah tambahan penghasilan baru seperti laba usaha, melainkan hasil kerja keras puluhan tahun yang seharusnya dijamin sebagai hak sosial pekerja. Mereka juga menilai pajak progresif atas dana pascakerja bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin hak atas penghidupan yang layak.
keputusan-mahkamah-konstitusi , pajak-penghasilan , tarif-pph-orang-pribadi , wajib-pajak-orang-pribadi